Karpet Merah bagi Warga Asing untuk Perusahaan Plat Merah

Poster Aksi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo Gibran. Foto oleh Maulana Ali Firdaus.
Poster Aksi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo Gibran. Foto oleh Maulana Ali Firdaus.

 

Jakarta, 17 Oktober 2025

 

Ketentuan yang memperbolehkan Warga Negara Asing (WNA) menjadi direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan kebijakan yang tidak sesuai dengan solusi dari permasalahan yang ada di BUMN saat ini. Diketahui bahwa klausul tersebut masuk dalam UU Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang telah diubah sebanyak dua kali di tahun 2025.

Presiden Prabowo Subianto menjelaskan ketentuan WNA dapat menjadi direksi BUMN dimaksudkan agar pengelolaan BUMN sesuai dengan standar internasional. Alasan tersebut tidak memiliki argumentasi yang kuat. Pada Agustus 2021 terdapat 98 dari 107 BUMN yang telah tersertifikasi SNI ISO 37001:16 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan. Sertifikasi ISO 37001:16 merupakan sertifikasi berstandar internasional. 

Penunjukan ekspatriat sendiri bukanlah hal baru. Berdasarkan data yang ICW kumpulkan, sejak 2016 hingga 2024 terdapat 234 kasus korupsi dengan total 400 pejabat BUMN sebagai tersangka. Kerugian keuangan negara akibat korupsi di BUMN sejumlah Rp68 triliun. Maka, penunjukan ekspatriat dalam kepengurusan BUMN dan penerapan standar internasional pada sejumlah perusahaan milik negara tidak secara otomatis memperbaiki dan menjamin tata kelola perusahaan bersih dari korupsi. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) memiliki 3 catatan terhadap perubahan UU BUMN ini. Pertama, potensi proses seleksi yang tidak transparan dalam penunjukan WNA sebagai anggota direksi BUMN. Kedua, hambatan dalam penindakan tindak pidana korupsi terhadap WNA. Ketiga, status serta kewajiban warga negara asing sebagai anggota direksi BUMN.

 

Potensi Proses Seleksi yang Tidak Transparan dalam Penunjukan WNA sebagai Anggota Direksi BUMN

Sebelum pemberlakuan UU No. 16 Tahun 2025, persyaratan untuk menjadi direksi persero salah satunya adalah warga negara Indonesia. Semula, Pasal 15A ayat (1) huruf a menyatakan bahwa untuk menjadi anggota direksi, harus berstatus warga negara Indonesia. Setelah perubahan, terdapat satu tambahan ayat pada Pasal tersebut. Pasal 15A ayat (3) berbunyi, “Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat ditentukan lain oleh Badan Pengelola (BP) BUMN.” Maka, anggota direksi BUMN tidak lagi wajib berstatus warga negara Indonesia. Hal serupa juga disampaikan oleh Presiden Prabowo dalam diskusi bersama Chairman and Editor in Chief Forbes, Malcolm Stevenson Jr. di Hotel St. Regis, Jakarta pada Rabu, 15 Oktober 2025 lalu di sejumlah pemberitaan media.

Pasal yang memberikan wewenang pada BP BUMN untuk menunjuk warga negara asing merupakan pasal yang sangat mudah disalahgunakan. Terlebih, tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan mekanisme penunjukan WNA sebagai direksi BUMN. Syarat tersebut seharusnya diatur dalam UU untuk menjamin kepastian hukum dan transparansi, seperti dalam kondisi apa BP BUMN dapat menunjuk warga negara asing, proses seleksi yang transparan, justifikasi atas kebutuhan BUMN untuk dipimpin warga negara asing, dan syarat deklarasi potensi konflik kepentingan oleh warga negara asing. 

 

Hambatan dalam Penindakan Tindak Pidana Korupsi terhadap WNA

Salah satu kelemahan dalam UU Tipikor adalah kekosongan aturan mengenai yurisdiksi ekstrateritorial. Akibatnya, suap yang dilakukan di luar wilayah Indonesia tidak dapat dilakukan penindakan. Selain itu, penindakan kasus yang melibatkan pihak asing juga memerlukan kerja sama dengan negara lain. Upaya tersebut dilakukan melalui mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan timbal balik dengan tujuan untuk melakukan pelacakan aset dan keperluan pembuktian persidangan di Indonesia. Tetapi, bantuan timbal balik dengan negara lain kerap menemui masalah. Setidaknya terdapat 2 kasus yang terhambat bantuan kerja sama dengan luar negeri yang melibatkan asing dan BUMN. 

Pertama, kasus suap Rolls-Royce oleh Emirsyah Satar. Ia adalah Direktur Utama PT Garuda Indonesia yang terbukti menerima suap USD2 juta dari Rolls-Royce untuk membeli sejumlah pesawat buatannya. Namun, pemberi suap yang merupakan warga negara Inggris tidak dilakukan penindakan lebih lanjut sebab suap tersebut tidak terjadi di wilayah hukum Indonesia. Kedua, kasus korupsi oleh E.C.W. Neloe, seorang Direktur Utama PT Bank Mandiri yang menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp120 miliar. E.C.W. Neloe diduga mengalihkan sebagian besar asetnya ke Swiss Bank. Indonesia yang saat itu tidak memiliki perjanjian MLA dengan Swiss akhirnya kesulitan untuk mendapatkan informasi rekening milik E.C.W. Neloe. Akibatnya, pengembalian kerugian keuangan negara tidak maksimal.

Masuknya WNA sebagai penyelenggara negara tanpa adanya peninjauan ulang terhadap kelemahan peraturan perundang-undangan di Indonesia akan mempersulit pengungkapan kasus yang melibatkan WNA. Terutama dalam hal penelusuran harta kekayaan yang berpotensi dialihkan ke negara asal WNA. Hal tersebut harus menjadi perhatian khusus penegak hukum, untuk memastikan tidak ada impunitas terhadap penyelenggara negara berstatus WNA.

 

Status dan Kewajiban WNA sebagai Penyelenggara Negara

UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN semula menghapus status anggota Direksi Persero sebagai Penyelenggara Negara. Namun, Pasal 9G dihapus melalui UU No. 16 Tahun 2025. Konsekuensinya, anggota Direksi BUMN merupakan penyelenggara negara yang tunduk pada UU No. 28/1999 dan UU 31/1999. Artinya, WNA pun dapat dikenakan pasal suap dan gratifikasi, termasuk berkewajiban melaporkan harta kekayaan sejak ia menjabat, selama ia menjabat, dan pada masa akhir jabatannya.

Aparat penegak hukum seperti Kejaksaan RI dan KPK tidak boleh tebang pilih dalam menindak kasus-kasus yang melibatkan warga negara asing dan kewajiban yang melekat pada dirinya ketika menjadi penyelenggara negara. 

 

Berdasarkan hal tersebut, ICW menilai bahwa keputusan pemerintah untuk memberi karpet merah bagi WNA menjadi direksi BUMN belum diawali dengan kesiapan perangkat hukum dan agenda reformasi BUMN yang dapat memastikan BUMN bersih dari korupsi dan berperforma baik. Oleh karena itu, ICW mendesak:

  1. BP BUMN untuk bertindak transparan terhadap warga negara asing yang hendak ditunjuk sebagai anggota direksi BUMN dan memperketat aturan penunjukan warga negara asing tersebut, termasuk namun tidak terbatas pada proses pemilihan, deklarasi potensi konflik kepentingan, dan analisis kebutuhan anggota direksi BUMN;
  2. KPK untuk tidak pandang bulu untuk menerapkan sanksi administratif jika warga negara asing tersebut tidak melaporkan LHKPN dan memproses penerimaan gratifikasi yang diajukan oleh warga negara asing;
  3. Kejaksaan RI dan KPK untuk tidak pandang bulu dalam hal terdapat dugaan korupsi yang melibatkan warga negara asing ketika sudah ditunjuk sebagai anggota direksi BUMN.

 

Indonesia Corruption Watch

 

Narahubung

Erma Nuzulia (Staf Divisi Hukum dan Investigasi ICW)

Wana Alamsyah (Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan