Titik Rawan Korupsi dalam KUHAP

Analisis Potensi Penyalahgunaan Wewenang dalam Sistem Peradilan Pidana
KUHAP

Jakarta, 19 Desember 2025

 

Pada 18 November 2025 lalu, DPR telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi undang-undang. KUHAP kini diatur dalam UU No. 20 Tahun 2025. KUHAP merombak sebagian besar ketentuan dari KUHAP lama yang sebelumnya diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 dalam 369 pasal. Hal yang paling disoroti adalah perluasan kewenangan Penyelidik dan Penyidik yang fungsi utamanya diemban oleh Polri. Perubahan ini digadang-gadang sebagai penguatan efisiensi penegakan hukum, namun sejumlah ketentuan baru justru memperluas potensi penyalahgunaan wewenang, terutama kewenangan Polri sebagai Penyelidik dan Penyidik. Apalagi, perluasan wewenang ini diberikan tanpa adanya pengawasan yang efektif dan kerap menimbulkan impunitas jika aparat penegak hukum melakukan tindak pidana.
 

Setiap aktor dalam sistem peradilan pidana memegang kewenangan tertentu dalam KUHAP. Ruang kewenangan tanpa pengawasan yang efektif berpotensi disalahgunakan baik dengan modus pemerasan, manipulasi bukti, penahanan yang sewenang-wenang, pengaturan dakwaan dan putusan, hingga pelaksanaan pidananya. Dalam catatan ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) membuat pemetaan titik rawan korupsi dalam KUHAP berdasarkan tahapan sistem peradilan pidana dan aktor-aktor utamanya, yaitu Penyelidik, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim.

 

Kepolisian RI (Penyelidik dan Penyidik)

  1. Isu yang paling terlihat pada KUHAP baru adalah diaturnya Penyidik Polri sebagai Penyidik utama dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Tertentu. PPNS dan Penyidik Tertentu dalam melakukan serangkaian penyidikan wajib untuk berkoordinasi dengan Penyidik Polri selaku Penyidik utama. Dalam melakukan penangkapan dan penahanan, PPNS dan Penyidik Tertentu juga wajib untuk dilakukan atas perintah Penyidik Polri. Hal ini berpotensi adanya penyalahgunaan diskresi penyidikan, antara lain menentukan layak atau tidaknya untuk dilimpahkan ke Penuntut Umum, pemerasan untuk mempercepat berkas perkara dari PPNS maupun Penyidik Tertentu, maupun perdagangan pengaruh yang kerap terjadi pada tubuh Kepolisian. Monopoli ini juga membuka ruang intervensi politik untuk melindungi kepentingan politik. 
  2. Penyelidik atas perintah Penyidik dapat melakukan tindakan berupa penangkapan dan penahanan tanpa izin dari pengadilan negeri setempat. Karena tidak ada kewajiban untuk langsung dihadapkan ke muka persidangan, penahanan dan penangkapan sangat ditentukan oleh penyidik. Akibatnya, kerap terjadi pemerasan terhadap tersangka/keluarga agar tidak ditahan, untuk menahan atau ditunda, dan manipulasi kasus untuk negosiasi suap. Hal ini masih diatur sama dengan KUHAP lama, sehingga tidak ada perbaikan dari berbagai pemerasan yang dilakukan oleh Penyelidik maupun Penyidik. Aturan-aturan ini memberikan potensi penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pemerasan terhadap orang yang sedang diperiksa dengan cara menahan, mengancam, atau menawarkan “damai” demi keuntungan pribadi. 
  3. Dalam melakukan upaya paksa lain seperti penggeledahan dan pemblokiran pun masih ada syarat subjektif, yakni “berdasarkan penilaian Penyidik”. Penggeledahan sendiri merupakan intrusi berat yang membutuhkan judicial warrant atau perintah hakim. Artinya, ruang diskresi Penyidik untuk melakukan penggeledahan dan pemblokiran sangat besar. Hal ini juga memberikan ruang bagi Penyidik untuk memeras orang dengan alasan subjektivitas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
  4. Penyidik berwenang untuk menerima pengakuan bersalah (plea bargain) dari Tersangka yang kemudian dituangkan dalam berita acara. Pengakuan bersalah nantinya akan mendapatkan imbalan berupa keringanan hukuman. Sebetulnya, praktik ini kerap terjadi bahkan sebelum KUHAP baru diundangkan. Penyidik dapat meminta imbalan untuk mencatat pengakuan bersalah dalam berita acara demi keringanan hukuman. Praktik serupa selalu menjadi hal yang bersifat transaksional di antara Tersangka/Terdakwa dengan Aparat Penegak Hukum. 
  5. Penyidik memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara melalui Mekanisme Keadilan Restoratif, namun mekanisme ini tidak diawasi oleh Penuntut Umum maupun Hakim. Mekanisme ini pun dapat ditempuh dalam tahap Penyelidikan yang bahkan belum jelas apa tindak pidananya. Mekanisme Keadilan Restoratif tanpa pengawasan sangat rentan disalahgunakan, sebab tidak dilakukan dengan pengawasan aktif dari Penuntut Umum maupun Hakim. Korupsi seperti pemerasan dan suap, sama seperti pada poin sebelumnya, berpotensi terjadi pada tahap ini.
  6. Dalam KUHAP, terdapat monopoli bantuan teknis yang dilakukan oleh Polri. Bantuan teknis yang diperlukan oleh Penyidik harus dilaksanakan oleh Polri. Monopoli bantuan teknis ini memperluas wewenang Polri yang seharusnya fokus pada penegakan hukum. Selain itu, jika tujuan dari bantuan teknis ini adalah untuk pembuktian secara ilmiah, maka seharusnya dilakukan oleh badan yang bersifat independen, bukan dilakukan oleh badan di bawah tubuh Kepolisian yang dapat menimbulkan suatu konflik kepentingan. Hal ini berpotensi mempengaruhi kualitas dan integritas alat bukti/barang bukti yang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta di pengadilan. 
  7. Penyidik memiliki wewenang untuk menghentikan penyidikan dalam kondisi Tersangka membayar maksimum denda atas tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II dan kategori III. Hal ini juga berlaku untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara 1 tahun dengan membayar denda kategori IV. Kewenangan membayar denda maksimum juga dapat dilakukan oleh Penuntut Umum dengan melaporkan ke Jaksa Agung mengenai nominal denda yang disepakati. Jika dibandingkan dengan kewenangan denda damai oleh Jaksa Agung, Penyidik tidak wajib untuk melaporkan denda damai tersebut ke Kapolri. Maka, kewenangan ini sangat berpotensi untuk menjadi ladang korupsi dengan menerima sejumlah uang yang seharusnya disetor untuk negara namun tidak ada mekanisme pengawasan atau pelaporan. 

 

Kejaksaan RI (Penuntut Umum)

  1. Penuntut Umum melalui kewenangannya dapat melakukan penyelesaian perkara pidana melalui denda damai. Pada UU Kejaksaan, Jaksa Agung memiliki wewenang untuk menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi. Dalam penjelasannya, denda damai merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung. Denda damai ini secara normatif digunakan dalam tindak pidana kepabeanan, cukai, dan perpajakan. Ini bukanlah praktik baru, setidaknya sejak adanya revisi pada UU Kejaksaan pada tahun 2021. Namun, mekanisme pembayaran denda damai yang tidak diawasi secara ketat membuat peran Jaksa Agung berisiko hanya sekadar stempel persetujuan. Hal ini memberikan celah bagi Penuntut Umum untuk menetapkan besaran denda secara sewenang-wenang atau menerima keuntungan pribadi dari mekanisme tersebut.
  2. Penuntut Umum berwenang untuk menerima atau menolak mekanisme perjanjian penundaan penuntutan bagi Korporasi. Perjanjian penundaan penuntutan adalah perjanjian antara Penuntut Umum dengan Korporasi untuk menunda penuntutan dengan melakukan serangkaian hal yang diatur dalam perjanjian. Misalnya, kesepakatan untuk membayar restitusi kepada korban, mengatur aturan internal mengenai SOP antikorupsi, dan lain sebagainya. Namun, hal ini berpotensi membuka celah korupsi baru, misalnya untuk menghindari ancaman denda yang lebih besar dari kerugian akibat perbuatannya. Selain itu, mekanisme ini sangat tidak transparan, sebab tidak ada pemeriksaan yang terbuka terhadap isi penetapan dan hanya diketahui beberapa pihak. Kedua hal tersebut yang menjadi titik rawan korupsi dalam mekanisme perjanjian penundaan penuntutan.
  3. Penyidik bersama dengan Penuntut Umum berwenang untuk menetapkan saksi mahkota untuk kepentingan Penyidikan untuk membantu mengungkapkan keterlibatan pelaku lain. Sebagai imbalan, saksi mahkota ini nantinya berpotensi mendapatkan keringanan tuntutan dari Penuntut Umum. Mekanisme penetapan saksi mahkota sendiri belum dikenal dalam KUHAP lama. Sama halnya seperti mekanisme plea bargain, pemberian status saksi mahkota dapat menjadi ajang transaksional bagi Tersangka dan Terdakwa dengan Penyidik atau Penuntut Umum untuk melakukan pemerasan maupun suap. 

 

Pengadilan (Hakim)

Hakim dalam KUHAP memiliki wewenang untuk memberikan izin upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan, memeriksa dan mengadili perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, serta serangkaian pemberian penetapan lain yang diamanatkan oleh KUHAP. Pada konteks sistem peradilan pidana, titik rawan korupsi yang berpotensi terjadi adalah adanya jual beli perkara yang melibatkan suap atau gratifikasi kepada Hakim. Namun, karena adanya prinsip independensi peradilan dan prinsip putusan hakim dianggap benar maka cukup sulit untuk mengatur pengawasan terhadap hakim di KUHAP dalam memberikan pertimbangan hukum. Titik celah rawan korupsi pada hakim juga sulit untuk dilacak apabila hakim mengeluarkan penetapan dalam mekanisme penyelesaian perkara di luar pengadilan, terutama dalam Perjanjian Penundaan Penuntutan. Putusan pada dasarnya merupakan dokumen yang terbuka untuk umum kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Namun, dalam konteks Penetapan tidak diatur secara eksplisit bahwa Penetapan adalah produk pengadilan yang dapat diketahui oleh publik. Konsekuensinya, ketiadaan transparansi ini membuka praktik persekongkolan agar perkara tidak dibawa ke penuntutan dan menguntungkan hakim maupun penuntut umum secara pribadi.

 

Selain dari berbagai titik rawan korupsi tersebut, ICW juga mengelompokan titik rawan korupsi berdasarkan sejumlah pemberitaan, modus korupsi dalam tren penindakan korupsi, dan modus korupsi dalam tren vonis korupsi yang disusun oleh ICW. Titik rawan korupsi tersebut dipadukan dengan pengaturan baru dalam KUHAP berdasarkan tabel di bawah ini. Pemetaan ini menjadi acuan untuk memberikan gambaran utuh mengenai potensi risiko korupsi yang menyertai perubahan hukum acara pidana, sekaligus menjadi peringatan awal bagi masyarakat yang akan berhadapan dengan hukum, baik itu pelaku, korban, maupun saksi beserta keluarganya.

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan